Tanpa Tengkulak: Rantai Pendek, Harga Petani Naik, Makanan Anak Terjamin

Edith Razan

Di banyak desa di Indonesia, petani terbiasa menanam tanpa tahu pasti siapa yang akan membeli. Mereka bercocok tanam dengan harapan, bukan kepastian. Setelah panen, hasilnya diangkut ke tengkulak yang menentukan harga sekehendaknya. Petani jarang bisa menawar. Kadang harga terlalu rendah sampai bahkan tak cukup menutup biaya pupuk. Namun mereka tetap menjual, karena tidak ada pilihan lain. Dalam sistem lama ini, petani bekerja paling keras, tapi mendapat paling sedikit.

Sementara di ujung lain, anak-anak sekolah makan makanan yang datang dari pemasok besar, dibungkus rapi, dikirim dari kota, atau dari gudang sentral jauh di luar provinsi. Sayurnya sudah layu, proteinnya sering hanya olahan ultra-proses. Negara sudah menganggarkan, pemerintah sudah membayar, tapi nilai gizinya tipis. Distribusinya panjang, rumit, dan tak jarang menyumbang banyak pemborosan. Ini bukan hanya soal gizi, tapi soal struktur ekonomi yang timpang.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencoba memotong jalur itu. Dan di sinilah konsep rantai pendek menjadi sangat relevan. Rantai pendek adalah sistem distribusi yang memangkas mata rantai antara produsen dan konsumen. Artinya: tidak ada tengkulak, tidak ada gudang berlapis, tidak ada markup dari tangan ke tangan. Yang ada hanya dua titik: petani, dan anak-anak yang makan.

Model ini bukan teori kosong. Di Jepang, mereka menyebutnya “Teikei”—kemitraan antara petani dan konsumen. Konsumen berkomitmen membeli hasil panen langsung dari petani lokal. Mereka tidak hanya membeli sayur, tapi juga ikut berbagi risiko panen. Jika cuaca buruk dan hasil kurang, mereka tetap beli. Sebaliknya, jika panen melimpah, mereka dapat lebih. Hubungan ini membuat petani dihargai sebagai produsen pangan, bukan hanya buruh tanah.

Di Prancis, ada La Ruche qui dit Oui!, atau “Sarang yang berkata Ya!”. Ini bukan sekadar pasar petani mingguan, tapi platform digital yang menghubungkan warga dengan petani di sekitar mereka. Konsumen memesan secara online, dan mengambil langsung produknya dari pasar lokal. Sistem ini memberi ruang keakraban: warga tahu dari siapa mereka membeli, petani tahu ke mana panennya pergi.

Vietnam juga melakukan pendekatan serupa. Penelitian menunjukkan bahwa rantai pendek dalam pasokan sayuran meningkatkan pendapatan petani kecil, mengurangi polusi, dan memperkuat kualitas makanan. Bahkan anak-anak sekolah pun mendapat manfaat dari program makan berbasis pangan lokal.

Irlandia punya FoodCloud, sebuah organisasi yang menghubungkan surplus makanan dari restoran atau toko dengan lembaga sosial. Hasilnya luar biasa: jutaan makanan terselamatkan dari pemborosan, dan ribuan keluarga terbantu. Semua lewat sistem distribusi pendek, cepat, dan efisien.

Kita di Indonesia tentu tak bisa menyalin bulat-bulat semua itu. Tapi semangatnya bisa kita adaptasi. Di banyak tempat, koperasi petani sudah terbentuk, tapi selama ini perannya lebih banyak di pupuk dan kredit. Program MBG membuka peluang baru: koperasi sebagai pengatur jalur pangan lokal. Mereka bisa menyambungkan petani dengan dapur sekolah. Mereka bisa mencatat panen, menghitung kebutuhan, dan mengatur distribusi.

Bayangkan satu desa dengan 10 petani sayur. Mereka menanam bayam, kangkung, sawi, cabai, dan tomat. Lewat koperasi Merah Putih, hasil panen itu dikumpulkan setiap pagi. Dapur SPPG menerima daftar menu harian, dan mengatur pembelian langsung. Hari ini kirim bayam dan tahu, besok kangkung dan telur. Koperasi tinggal koordinasi transportasi. Tidak perlu gudang dingin. Tidak perlu mark-up. Harganya disepakati bersama, volumenya terukur, dan semua tercatat secara transparan.

Rantai pendek pemasaran produk-produk pertanian akan menguntungkan petani dan konsumen sekaligus (unsplash)

Harga yang diterima petani lebih tinggi. Petani senang. Anak-anak makan sayur segar. Negara hemat anggaran distribusi. Dan yang paling penting: ada rasa percaya tumbuh di antara petani, pengelola dapur, dan koperasi. Tidak ada lagi rasa ditipu harga. Tidak ada lagi pasrah pada sistem pasar yang tidak adil.

Secara ekonomi, rantai pendek menguntungkan banyak pihak. Kita bisa bicara efisiensi, mengurangi pemborosan, menekan biaya distribusi. Tapi sebenarnya, lebih dari itu, rantai pendek membangun ekosistem yang sehat. Ekosistem di mana petani tidak hanya bertahan hidup, tapi bisa hidup layak. Ekosistem di mana makanan bukan sekadar barang, tapi hasil kerja keras yang dihargai.

Di banyak daerah, pemerintah sudah mulai melirik skema ini. Beberapa sekolah sudah mengubah skema pengadaan bahan pangan mereka. Mereka tidak lagi menunggu suplai dari kota, tapi membeli dari petani sekitar. Bahkan ada yang sudah menggunakan platform digital sederhana untuk mencatat permintaan dan pengiriman. Tidak perlu sistem canggih. Yang dibutuhkan hanya komitmen, kepercayaan, dan alur yang transparan.

Tentu, ini bukan proses tanpa tantangan. Ada kekhawatiran soal kualitas, kontinuitas pasokan, bahkan resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan dari sistem lama. Tapi jika koperasi bisa diberdayakan, jika pelatihan diberikan, jika logistik lokal diperbaiki, maka tidak ada alasan kita tidak bisa menjalankannya.

Program MBG harus jadi pemicu. Bayangkan jika dari 83.000 desa, separuhnya saja bisa punya jalur rantai pendek ke dapur sekolah. Berapa ratus ribu petani yang akan hidup lebih sejahtera? Berapa juta anak yang akan makan lebih sehat? Dan berapa banyak uang negara yang bisa dihemat dari biaya distribusi dan markup tengkulak?

Di satu sekolah di Jawa Tengah, koperasi desa mulai mengatur jadwal tanam berdasarkan kebutuhan dapur MBG. Mereka tahu kapan sekolah butuh wortel, kapan butuh telur, dan kapan harus stop panen tomat karena sudah terlalu banyak. Koordinasi sederhana ini menghindarkan surplus dan kekurangan. Tidak ada lagi makanan mubazir. Tidak ada anak yang harus makan tanpa lauk.

Bahkan di satu daerah di Sulawesi, para ibu rumah tangga yang tergabung dalam koperasi ikut memproduksi tempe lokal yang kemudian dikirim ke dapur MBG. Tempe itu tidak hanya lebih segar, tapi juga lebih murah daripada tempe dari distributor besar. Anak-anak makan tempe buatan tetangganya sendiri. Dan uangnya berputar di desa yang sama.

Inilah ekonomi lokal yang berputar sehat. Tanpa kebocoran ke kota. Tanpa dominasi tengkulak. Tanpa monopoli dari korporasi raksasa. Semua berjalan dalam lingkaran kecil yang saling percaya.

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa teknologi bisa membantu mempercepat sistem ini. Aplikasi sederhana bisa dibuat untuk memetakan siapa tanam apa, kapan panen, berapa harga, dan ke mana dikirim. Petani tinggal lapor lewat SMS atau WhatsApp. Koperasi mencatat. Dapur SPPG menerima update. Semua bisa berjalan harian tanpa perlu sistem raksasa.

Dan jangan lupakan peran pasar petani mingguan. Di beberapa desa yang menjalankan model ini, pasar petani mingguan menjadi ruang interaksi sosial. Warga tahu siapa yang tanam sayur mereka. Anak-anak melihat langsung asal makanan mereka. Ini membangun ekosistem edukatif. Menghargai makanan dimulai dari mengenal asalnya.

Koperasi Merah Putih punya misi besar di sini. Ia tidak boleh jadi koperasi formalitas. Ia harus aktif jadi simpul penghubung. Ia harus gesit, transparan, dan adaptif. Petani tidak butuh koperasi yang hanya hadir saat pembagian pupuk. Mereka butuh mitra yang berdiri bersama mereka saat panen tiba.

Pemerintah pusat dan daerah punya peran memfasilitasi. Infrastruktur distribusi lokal harus dibenahi. Jalan tani, motor pengangkut, cold storage kecil—semua ini bisa didukung. Tapi yang paling penting adalah memberi ruang kepercayaan: percayalah bahwa petani bisa, bahwa desa bisa mengatur makan anak-anaknya sendiri.

Makanan yang masuk ke tubuh anak sekolah bukan sekadar asupan. Ia adalah hasil keputusan ekonomi, sistem sosial, dan struktur politik. Jika kita ingin anak-anak tumbuh sehat, mandiri, dan cerdas, maka sistem pangan mereka juga harus sehat, mandiri, dan adil.

Tanpa tengkulak, kita potong rantai. Tanpa tengkulak, kita percepat distribusi. Tanpa tengkulak, harga petani naik. Dan makanan anak-anak lebih segar, lebih sehat, dan lebih terjamin.

Model ini bukan solusi semua masalah. Tapi ia adalah satu langkah logis, adil, dan manusiawi dalam membangun kembali kedaulatan pangan kita. Di saat dunia penuh ketidakpastian, dari krisis iklim sampai ketegangan geopolitik, ketahanan pangan lokal adalah fondasi utama.

Dan semua itu bisa dimulai dari satu langkah sederhana: sambungkan petani dan dapur sekolah lewat koperasi desa. Biarkan ekonomi kecil bergerak. Biarkan kepercayaan tumbuh. Biarkan anak-anak kita makan makanan yang jujur—langsung dari tanah yang digarap oleh tetangganya sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *