Rasa yang Diimpor, Luka yang Diabaikan

Edhy Aruman

Dalam studi-studi pascakolonial dan kajian budaya, konsumsi tidak lagi dipandang sekadar sebagai tindakan individual atas dasar selera atau kebutuhan. Ia adalah praktik sosial-politik yang sarat makna historis dan ideologis.

Dalam konteks kolonialisme, konsumsi berubah menjadi alat dominasi: mengatur apa yang dimakan, siapa yang berhak makan, dan bagaimana makna makanan dikonstruksi dalam sistem kapitalisme global.

Kadang, satu sendok nasi punya lebih banyak cerita daripada seribu halaman sejarah. Dalam satu suapan, ada kisah tanah yang direbut, tenaga yang diperas, dan lidah yang dilatih mencintai rasa yang sebenarnya tumbuh dari luka.
Konsumsi, hari ini, sering dianggap soal selera. Tapi sejarahnya? Itu cerita tentang kekuasaan.

Bayangkan India di akhir abad ke-18. Inggris—yang datang sebagai pedagang, lalu berubah jadi penguasa—menguasai tidak hanya tanah dan rakyatnya, tapi juga makanannya.

Antara tahun 1769 dan 1770, Inggris membeli seluruh stok beras, lalu menolak menjualnya kembali kecuali dengan harga yang “luar biasa mahal.”

Salah satu kegiatan makan siang anak-anak di Afrika (unsplash)

Akibatnya? Kelaparan melanda. Bukan karena alam gagal memberi, tapi karena kolonialisme mengatur siapa yang boleh makan dan siapa yang harus kelaparan.

Konsumerisme modern lahir bukan dari pasar bebas semata, tapi dari peristiwa-peristiwa seperti ini—di mana rasa eksotis jadi komoditas, dan nyawa manusia jadi ongkos di balik cita rasa.

Rempah-rempah, teh, opium—semuanya dianggap “tambang kekayaan” oleh para pengusaha Eropa, bukan sebagai bagian dari budaya hidup masyarakat Timur.

Dalam puisi Romantik, rempah-rempah dibalut dengan metafora manis, seolah eksotisme adalah keindahan murni. Padahal, seperti yang dikritisi Timothy Morton, retorika semacam ini hanyalah “kitsch kapitalis”—hiasan palsu yang menyamarkan kekerasan kolonial dalam puisi dan iklan.

Makan bukan hanya soal perut, tapi juga soal ingatan. Di balik cokelat yang meleleh, ada keringat pekerja anak. Di balik secangkir teh sore, ada sejarah pembantaian. Dan di balik setiap bumbu yang harum, kadang tersembunyi bau mesiu dan darah.

Kita, yang hidup hari ini, mewarisi sistem konsumsi yang dahulu dibangun di atas eksploitasi.
Tapi kesadaran bukan akhir cerita. Ia bisa jadi awal keberanian. Kesadaran akan sejarah konsumsi bukan untuk membuat kita merasa bersalah, tapi agar kita bisa memilih dengan hati yang lebih terbuka.

Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia dalam sekali makan. Tapi dengan mengingat bahwa makanan kita punya sejarah, kita bisa mulai memakannya dengan lebih sadar, dan menghargai bukan hanya rasanya, tapi juga jiwa-jiwa yang pernah diperas karenanya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *