Zoreen Muhammad
Dalam kebijakan makan bergizi gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah, dapur-dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) menjadi ujung tombak pemenuhan kebutuhan makan harian anak-anak Indonesia. Namun di balik hiruk-pikuk dapur yang memasak ribuan porsi setiap hari, tersimpan sebuah peluang ekonomi tersembunyi: minyak jelantah.
Minyak jelantah, atau minyak goreng bekas, biasanya dianggap limbah yang tak berguna, bahkan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan bila dibuang sembarangan. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa jelantah memiliki nilai ekonomi tinggi bila dikelola secara benar. Dalam skala nasional, limbah jelantah dari dapur SPPG bisa menjadi komoditas bernilai triliunan rupiah.
Dari Dapur Rakyat Menuju Pasar Energi
Dengan target 80 juta penerima manfaat MBG, dan asumsi bahwa setiap anak menghasilkan minimal 10 ml minyak jelantah per hari, maka dalam 229 hari efektif operasional (Senin-Jumat, tidak termasuk hari libur nasional dan bulan puasa), volume jelantah yang terkumpul bisa mencapai 183,2 juta liter per tahun. Jika dijual dengan harga dasar Rp6.000/liter, ini sudah setara dengan Rp1,1 triliun potensi kas langsung.
Namun, potensi ini baru permulaan. Bila minyak jelantah ini diolah lebih lanjut menjadi produk turunan seperti biodiesel, bioavtur, lilin aromaterapi, sabun cuci, atau bahkan diekspor mentah, nilai tambah yang dihasilkan melonjak drastis. Dalam simulasi konservatif terbaru, total nilai ekonomi dari pengolahan penuh minyak jelantah MBG mencapai hampir Rp10 triliun per tahun.
Produk Turunan dan Kenaikan Nilainya
Berikut adalah beberapa produk hasil olahan jelantah beserta nilai ekonominya:
- Biodiesel (B100): Harga jual sekitar Rp13.000/liter. Dari jelantah, nilainya meningkat 116%.
- Bioavtur (SAF): Diperkirakan Rp15.000/liter, cocok untuk aviasi masa depan.
- Lilin Aromaterapi (harga bulk): Bila dijual curah dari pabrik, bisa bernilai Rp10.000/liter.
- Sabun Cuci: Produk UMKM yang bernilai Rp10.000/liter.
- Ekspor Jelantah Mentah: Diekspor ke Eropa dan Asia dengan harga sekitar Rp6.500/liter.
Nilai tambah dari pengolahan ini bukan hanya menciptakan pasar baru, tetapi juga memperpanjang rantai ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Mengapa SPPG MBG Adalah Katalis yang Tepat?
Pertama, skala. Dengan jutaan porsi makanan yang disiapkan setiap hari, dapur MBG adalah mesin produksi limbah organik dan non-organik yang terstandarisasi. Ini berbeda dengan rumah tangga biasa yang limbahnya acak dan tidak terkumpul terpusat.
Kedua, ada struktur organisasi dan SOP yang memungkinkan jalur pengumpulan jelantah dilakukan secara rapi. Bayangkan jika setiap dapur SPPG diwajibkan mengumpulkan jelantah minimal 1 liter per hari. Dalam setahun, kita sudah bicara jutaan liter limbah yang bisa langsung dikonversi menjadi aset energi.
Ketiga, ini adalah kebijakan pemerintah. Artinya, ada ruang intervensi regulasi dan anggaran untuk membangun ekosistem daur ulangnya. Pemerintah dapat menetapkan skema insentif, BLU (Badan Layanan Umum), koperasi pengelola jelantah, dan kemitraan dengan BUMN energi atau swasta.
Tantangan dan Solusi
Walaupun potensinya besar, tantangan pengumpulan dan pengolahan jelantah tetap nyata. Mulai dari:
- Perlunya kesadaran penuh keseluruhan petugas dapur
- Perlunya SOP pengumpulan limbah yang konsisten
- Penyiapan Infrastruktur logistik daur ulang
- Perlunya integrasi sistem antara SPPG dan pelaku industri energi atau manufaktur
Solusinya adalah integrasi program MBG dengan sistem ekonomi sirkular. Pengadaan alat penampung jelantah, pelatihan rutin petugas dapur, dan pembentukan unit koperasi khusus pengelola limbah harus menjadi bagian dari desain program. Pemerintah juga bisa menggandeng startup pengelola jelantah seperti Waste4Change, Rekosistem, atau kerja sama dengan BUMN Energi.

Manfaat Tambahan: Lingkungan dan Kemandirian Energi
Pengolahan jelantah bukan hanya soal ekonomi, tapi juga lingkungan dan ketahanan energi nasional. Minyak jelantah yang dibuang ke saluran air bisa menyumbat pipa, mencemari air tanah, dan berkontribusi pada pencemaran sungai. Dengan mengolahnya menjadi bahan bakar atau produk bernilai, kita tidak hanya menekan kerusakan lingkungan, tapi juga mengurangi impor energi.
Program ini juga sejalan dengan target transisi energi nasional dan visi Indonesia menuju net-zero emission 2060. Jika digerakkan secara masif, minyak jelantah bisa menjadi bioenergi rakyat.
Potensi minyak jelantah dari dapur SPPG adalah peluang emas yang selama ini luput dari perhatian. Dari sisa gorengan dan minyak penggorengan tahu-tempe, kita bisa membangun model ekonomi baru yang berpihak pada lingkungan, rakyat, dan kemandirian energi nasional.
Jika digarap serius, bukan tidak mungkin, jelantah bisa menjadi komoditas baru penyumbang PDB, sekaligus instrumen keadilan sosial di dapur rakyat. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan dukungan negara, triliunan rupiah bisa lahir dari tempat yang paling tak terduga: sisa minyak di dapur anak-anak bangsa.