Zoreen Muhammad
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada tahun 2025 membutuhkan sekitar 82,9 juta unit peralatan makan dan minum, termasuk food tray atau ompreng, yang nantinya akan didistribusikan ke seluruh pelosok nusantara. Angka ini mencakup kebutuhan untuk anak sekolah, ibu hamil, dan balita, sehingga menuntut skala produksi yang begitu besar dengan standar kualitas yang konsisten.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, industri stainless steel di Indonesia memainkan peran kunci. Sejak pelarangan ekspor bijih nikel mentah, pemerintah mendorong hilirisasi nikel untuk memproduksi stainless steel grade 304 secara lokal. Fasilitas smelter di Sulawesi, khususnya di kawasan Morowali Industrial Park, diintegrasikan dengan pabrik-pabrik baja tahan karat yang mampu mengolah bijih laterit menjadi produk slab, coil, dan lembaran.
PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dan mitra-mitranya memegang peranan penting dengan kapasitas produksi yang mencapai ratusan ribu ton per tahun. Material coil hasil proses ini kemudian dialirkan ke pabrik–pabrik hilir dan IKM di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi yang melakukan pemotongan, stamping, serta finishing untuk menghasilkan tray ompreng sesuai ukuran dan ketebalan yang dibutuhkan.
Standar teknis ompreng MBG mensyaratkan stainless steel 304 dengan ketebalan 0,6 mm. Bahan ini dipilih karena ketahanan korosinya yang tinggi, higienitas, serta kemudahan dalam proses pencetakan deep drawing agar tray yang dihasilkan kuat dan rapi. Setiap tray berbobot sekitar 0,6–0,7 kg, memungkinkan kestabilan bentuk dan ketahanan pakai berulang.
Nilai tambah dari transformasi bijih nikel hingga tray jadi cukup signifikan. Bijih nikel mentah yang bernilai relatif rendah di tambang diolah menjadi coil stainless steel yang nilainya melonjak, lalu diproses lagi menjadi ompreng yang siap dipasarkan dengan harga jauh lebih tinggi. Proses ini tidak hanya menyerap tenaga kerja di berbagai tingkat rantai nilai, tetapi juga menggerakkan industri logistik, permesinan, dan perakitan komponen.
Dari sisi backward linkage, rantai pasok dimulai dari penambangan ore nikel laterit di Sulawesi dan Halmahera, diikuti smelting menjadi nikel pig iron atau nikel matte. Energi, pelabuhan, dan infrastruktur tambang menjadi bagian tak terpisahkan untuk memastikan pasokan bahan baku berjalan lancar. Kontribusi IKN pendukung infrastruktur menjadi sangat vital untuk menjaga kesinambungan operasi smelter.
Di sisi forward linkage, setelah tray ompreng diproduksi, mereka akan melalui tahap pengepakan, distribusi, dan penyimpanan sebelum akhirnya sampai di tangan penerima manfaat. Distributor alat makan dan perusahaan katering khusus MBG memegang peran penting dalam menjaga kualitas tray hingga di lokasi pemakaian, termasuk layanan pembersihan dan perawatan agar tray dapat digunakan berulang kali.
Industri ompreng juga membuka ruang bagi IKM lokal untuk bertransformasi dari usaha rumahan menjadi industri menengah. Banyak pengrajin logam yang mendapatkan pelatihan teknik stamping, welding, dan finishing, serta pendampingan sertifikasi mutu pangan. Hal ini meningkatkan kapasitas produksi dan memperluas lapangan kerja di daerah.
Meski demikian, tantangan tetap ada, terutama fluktuasi harga nikel dan kromium di pasar global, yang dapat memengaruhi biaya produksi stainless steel. Ketersediaan energi, efisiensi proses peleburan, serta standar lingkungan dalam operasi smelter juga perlu mendapat perhatian agar pertumbuhan industri ini berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Lebih jauh lagi, untuk menjaga momentum permintaan dari program MBG, pemerintah diharapkan merancang kebijakan yang mendorong diversifikasi produk stainless, seperti alat kesehatan, peralatan rumah sakit, dan kebutuhan pertahanan. Dengan demikian, pabrik ompreng tidak akan bergantung sepenuhnya pada satu program, tetapi dapat beradaptasi melayani berbagai sektor.
Keberhasilan “Ompreng Nusantara” dalam memadukan kebijakan sosial dengan industrialisasi sumber daya alam menunjukkan bahwa dengan visi dan kolaborasi antarinstansi, produk sederhana sekalipun dapat menjadi motor penggerak ekonomi. Dari bijih nikel laterit hingga meja makan sekolah, rantai nilai hilirisasi nikel kini menorehkan jejak emas bagi kemandirian manufaktur Indonesia.