Edhy Aruman
Bayangkan sebuah negeri di mana setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, bisa menikmati makan siang hangat, bergizi, dan seimbang di sekolah—tanpa harus membayar sepeser pun.
Itulah kenyataan sehari-hari di Finlandia, negara yang sejak 1948 telah menyelenggarakan program makan siang gratis bagi semua siswa dari tingkat dasar hingga menengah atas. Bagi Finlandia, makan siang bukan hanya soal isi piring, tetapi bagian dari sistem pendidikan dan kesejahteraan sosial yang menyatu.
Finlandia memang unik. Sejak 2004, makan siang di sekolah bahkan menjadi bagian kurikulum, termasuk dalam rencana kesejahteraan siswa yang harus dirancang dan diterapkan oleh setiap sekolah.
Tak hanya itu, makan siang ini diatur agar memenuhi sepertiga kebutuhan gizi harian anak.
Gurunya? Wajib ikut makan bersama murid, memberi contoh sopan santun makan dan membangun budaya makan yang sehat serta menyenangkan.
Namun, pertanyaannya: apakah anak-anak benar-benar makan sesuai dengan yang dianjurkan?
Sebuah riset besar melibatkan lebih dari 3.000 siswa kelas 7 hingga 9 (usia 13–15 tahun) mengungkapkan fakta yang menarik. Hampir semua anak (89%) memang datang ke kantin sekolah.
Sebagian besar makan makanan utama, tetapi tidak semua mengambil sayur, roti, atau minum susu. Bahkan, 11% tidak makan makanan utama sama sekali. Alasannya? Tidak suka rasa makanannya, tidak lapar, antrean terlalu panjang, atau teman tidak makan.
Model “piring makan sehat” yang diterapkan di Finlandia sangat jelas: separuh piring diisi dengan sayuran, seperempat untuk karbohidrat (nasi, kentang, pasta), dan seperempat lagi untuk sumber protein (ikan, daging, telur), dilengkapi roti gandum dan susu rendah lemak.
Namun dalam kenyataannya, pilihan anak-anak sering melenceng dari model ideal ini.
Perbedaan pun muncul. Anak laki-laki cenderung makan porsi utama lebih banyak, tapi jarang mengambil salad. Sebaliknya, anak perempuan lebih banyak makan salad, namun sedikit minum susu. Murid kelas 9 cenderung makan lebih banyak dari adik kelasnya. Dan yang mengejutkan, perbedaan pola konsumsi antar sekolah juga signifikan.
Ini menunjukkan bahwa faktor gender, usia, budaya sekolah, dan bahkan lingkungan sosial mempengaruhi pilihan makanan anak-anak. Maka, walaupun makan siang gratis adalah hak semua anak, belum tentu semua anak bisa menikmatinya dengan optimal.
Namun, di balik semua itu, makan siang gratis tetap menjadi landasan penting bagi keberhasilan pendidikan Finlandia. Tak heran jika banyak yang mengaitkan skor tinggi Finlandia dalam survei PISA dengan adanya program makan gratis ini. Selain menyehatkan tubuh, makan bersama juga mempererat hubungan sosial dan memberi energi untuk belajar lebih fokus.
Pelajaran penting dari Finlandia adalah: makan siang sekolah bukan hanya soal makanan—ini adalah investasi jangka panjang untuk kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan sosial. Tapi untuk benar-benar efektif, makan siang harus dikemas dengan menarik, sesuai dengan preferensi anak, dan diiringi edukasi gizi yang kontekstual.
Finlandia telah membuktikan bahwa makan siang gratis bisa menjadi pondasi kuat bagi sistem pendidikan yang unggul. Kini, tantangannya bagi negara lain, termasuk Indonesia, adalah: berani belajar dari praktik baik ini, sambil menyesuaikannya dengan budaya dan kebutuhan lokal.
Siapa tahu, di masa depan, anak-anak Indonesia juga bisa menikmati makan siang sehat di sekolah tanpa rasa cemas—sebuah mimpi yang bisa jadi kenyataan jika semua pihak bekerja sama.
RUJUKAN
Tikkanen, I., & Ulla-Marja Urho. (2009). Free school meals, the plate model and food choices in Finland. British Food Journal, 111(2), 102-119. https://doi.org/10.1108/00070700910931940