Zoreen Muhammad
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang awalnya digadang-gadang sebagai mahakarya kemanusiaan, kini terpaksa menelan kenyataan kurang menyenangkan: sejumlah kasus keracunan menimpa anak-anak sekolah penerima manfaat. Dari Bogor hingga Padang, dari nasi basi sampai telur busuk, nama MBG sempat tercoreng sedikit, karena kasus yang terjadi terbilang minim dibanding skalanya yang luas. Tapi ini bukan soal kecilnya atau menyalahkan siapa. Ini tentang kesiapan kita membentengi program yang begitu masif dari risiko yang seharusnya bisa dihitung sejak awal: risiko keracunan, salah distribusi, atau bahkan malpraktik pangan.
Dalam dunia kebijakan publik, kita mengenal satu prinsip penting: tak ada program massal tanpa sistem mitigasi risiko. Maka pertanyaannya, kenapa MBG tidak punya asuransi?
Kita bisa mulai dari hal paling mendasar. MBG bukan hanya proyek pembagian makanan. Ia adalah proyek harapan. Ia melibatkan jutaan anak, ribuan sekolah, ribuan dapur penyedia makanan, puluhan distributor logistik, dan ratusan ribu pekerja teknis di lapangan. Kalau satu titik lalai, dampaknya bisa nasional. Maka menjadi wajar kalau publik bertanya: bagaimana kompensasi jika terjadi sesuatu? Siapa yang bertanggung jawab? Apa yang dilakukan negara jika program baik ini justru mencelakakan?
Salah satu ide yang mulai mengemuka dari sejumlah pakar adalah skema asuransi publik untuk MBG. Bukan asuransi individu layaknya BPJS, tapi asuransi kolektif atau liability insurance yang ditanamkan dalam sistem pengadaan dan pelaksanaan MBG. Polanya bisa bermacam-macam: mulai dari premi yang ditanggung negara, sampai pembagian tanggung jawab dengan vendor makanan dan transportasi. Intinya satu: harus ada jaring pengaman kalau bencana terjadi. Tentu ini gak akan lepas dari tuduhan sementara pihak, bahwa BGN seolah-olah mengambil untung dari premi asuranasi, ini musti diluruskan.
Model seperti ini bukan baru. India pernah mengalaminya. Tahun 2013, di negara bagian Bihar, sebanyak 23 anak meninggal akibat keracunan makanan dari program makan siang sekolah. Tragedi itu memaksa pemerintah India merevisi total sistem Mid-Day Meal Scheme. Salah satu langkahnya: mewajibkan penyedia makanan punya asuransi publik. Bahkan sekarang, banyak dapur sentral di India punya standar operasional dan audit mutu layaknya rumah sakit. Tragedi memang menyakitkan, tapi bisa jadi pemicu kebijakan besar. Kita tentu tidak ingin menunggu bencana lebih besar baru bertindak.
Di Amerika Serikat, program National School Lunch Program (NSLP) mewajibkan setiap distrik sekolah memiliki perlindungan liability atas produk makanan. Asuransi ini bukan sekadar formalitas. Ia jadi alat ukur ketaatan pada protokol keamanan pangan. Jika terjadi insiden, klaim berjalan cepat tanpa harus menunggu birokrasi kementerian. Asuransi bekerja diam-diam sebagai tameng, bukan setelah krisis, tapi sejak risiko terdeteksi.
Pertanyaannya: apakah Indonesia siap?
Pemerintah memang sudah mulai menyadari pentingnya proteksi. Kepala BGN, Dadan Hindayana, sudah menyatakan bahwa mereka sedang menyiapkan skema ganti rugi yang lebih sistematis. Tapi kompensasi tidak bisa terus bersandar pada “niat baik pemerintah”. Harus ada mekanisme yang pasti, terukur, dan bisa dieksekusi tanpa drama. Inilah peran asuransi publik yang sesungguhnya.

Salah satu opsi adalah memulai dari asuransi untuk vendor katering. Dalam setiap kontrak pengadaan MBG, negara bisa mewajibkan penyedia makanan memiliki polis asuransi dengan plafon tertentu. Ini akan menekan risiko dan mendorong kepatuhan terhadap SOP. Vendor yang teledor bisa langsung terkena penalti klaim. Di sisi lain, kita bisa bangun dana kompensasi nasional sebagai pelengkap, yang dikelola oleh lembaga seperti Jamkrindo atau Jasindo, dengan mekanisme cepat tanggap saat insiden terjadi.
Ada pula usulan skema parametric insurance dari kalangan akademisi. Ini jenis asuransi modern yang membayar otomatis berdasarkan indikator tertentu. Misalnya, jika dalam satu wilayah ditemukan lebih dari 30 siswa mengalami keracunan dalam satu hari, dana kompensasi langsung cair tanpa perlu penyelidikan panjang. Skema ini cocok untuk kondisi darurat di lapangan, seperti yang kadang terjadi saat MBG diluncurkan tergesa-gesa tanpa kesiapan penuh.
Sebagian mungkin khawatir soal biaya. Tapi justru inilah nilai tambah dari asuransi: memindahkan beban risiko ke lembaga yang memang ahli menanganinya. Dalam jangka panjang, biaya premi jauh lebih kecil daripada kerugian reputasi dan anggaran tanggap darurat akibat krisis. Lagipula, jika negara bisa mengucurkan miliaran rupiah untuk mendukung MBG, kenapa tidak sekalian dilengkapi dengan sistem perlindungan yang tangguh?
Ada juga tantangan lain: literasi. Banyak penyedia makanan di daerah adalah UKM kecil yang mungkin belum paham cara mengelola klaim asuransi atau bahkan tak tahu apa itu polis. Di sini negara perlu turun tangan, menyediakan pelatihan, pendampingan, dan sistem sederhana agar skema ini bisa berjalan.
Masyarakat pun perlu dilibatkan. Warga harus tahu bahwa ada hak untuk menerima kompensasi jika makanan dari negara malah mencelakakan. Keterbukaan informasi, transparansi distribusi, dan pengaduan online real-time harus menjadi bagian dari sistem. Jangan sampai orang tua siswa hanya bisa mengeluh di media sosial tanpa ada jalan penyelesaian.
Di titik ini, kita perlu melihat MBG bukan lagi sebagai proyek logistik semata, tapi sebagai ekosistem layanan publik berbasis hak. Kalau anak-anak dijamin makannya oleh negara, maka negara juga wajib menjamin keselamatannya. Kalau kita serius ingin generasi sehat, kita juga harus serius menjaga tiap suapan makanan mereka. Bukan hanya dari sisi gizi, tapi juga dari sisi keamanan dan keadilan ketika ada yang dirugikan.
Asuransi memang tidak menghapus risiko. Tapi ia bisa mengubah risiko menjadi sistem. Dan di negara sebesar Indonesia, program sebesar MBG, tidak boleh bergantung pada keberuntungan semata