Edith Razan
Di balik semangat besar program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah, ada kerja sunyi yang setiap hari berlangsung di balik dinding-dinding dapur. Di situlah ratusan hingga ribuan paket makanan disiapkan—dipilih, dimasak, dikemas, dan dikirimkan—untuk memastikan setiap anak Indonesia menerima asupan bergizi di sekolahnya.
Dapur-dapur ini bukan sembarang dapur. Mereka adalah bagian dari sistem baru bernama Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang kini menjadi tulang punggung penyediaan makanan bergizi bagi jutaan pelajar di seluruh Indonesia. Dan agar makanan yang sampai di tangan anak-anak tetap sehat dan aman, setiap SPPG kini dituntut memenuhi standar ketat, mulai dari proses pengadaan bahan baku hingga distribusi akhir.
MBG bukan sekadar bagi-bagi makanan. Program ini lahir dari kesadaran akan pentingnya gizi dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Gizi yang baik berbanding lurus dengan daya konsentrasi anak di kelas, kemampuan berpikir kritis, dan ketahanan tubuh terhadap penyakit.
Namun menyuplai makanan kepada jutaan siswa setiap hari bukan perkara mudah. Jarak antara dapur dan sekolah bisa puluhan kilometer. Jalanan macet, cuaca ekstrem, atau keterlambatan logistik bisa merusak kualitas makanan yang sudah dimasak dengan penuh perhatian.
Inilah pentingnya standar distribusi dan kontrol mutu dalam sistem SPPG. Makanan bergizi tidak cukup hanya bergizi—ia harus tetap higienis, layak konsumsi, dan utuh kualitas gizinya saat sampai ke siswa.
Setiap pagi, aktivitas dimulai sejak fajar. Petugas dapur mulai menyiapkan bahan baku yang sehari sebelumnya sudah dipastikan mutunya. Tak boleh ada bahan basi, tak ada sayur layu, dan semua daging atau protein hewani sudah melewati uji kelayakan serta sertifikasi halal.

Masakan harus selesai sebelum pukul 09.00, karena armada pengantar makanan harus segera berangkat ke sekolah-sekolah. Makanan dikemas dalam boks atau wadah tahan panas yang terstandarisasi. Petugas lapangan kemudian memastikan pengiriman menggunakan kendaraan yang bersih, tertutup, dan memenuhi syarat transportasi makanan.
Begitu sampai di sekolah, makanan segera diserahkan kepada petugas penyalur atau guru yang ditunjuk. Semua proses ini tercatat dan terdokumentasi, termasuk waktu pengantaran, suhu makanan saat tiba, dan tanda terima.
Menanggapi sejumlah keluhan dan kasus seperti keracunan makanan yang pernah terjadi di masa uji coba MBG, Badan Gizi Nasional (BGN) kini mewajibkan semua SPPG menjalani proses akreditasi oleh lembaga independen. Akreditasi ini bukan formalitas—tetapi penilaian menyeluruh atas kesiapan dapur, sistem distribusi, manajemen logistik, dan sumber daya manusia.
Dengan akreditasi, kualitas layanan SPPG bisa dipantau secara berkala dan obyektif. Dapur yang belum memenuhi standar diberi waktu untuk perbaikan, sementara yang lolos akan mendapat sertifikat kelayakan dan dapat terus melayani program MBG. Sistem ini penting untuk mencegah terjadinya insiden berulang, sekaligus membangun kepercayaan publik.
Perlu diketahui, setiap unit SPPG didukung dana antara Rp8 hingga Rp10 miliar per tahun dari APBN. Dana ini mencakup pembelian bahan makanan, upah pekerja, sewa dapur, hingga logistik. Namun dengan jumlah sebesar itu, negara pun menuntut pertanggungjawaban yang tinggi.
SPPG tidak boleh sekadar menjadi “dapur katering” dadakan. Mereka harus profesional, transparan, dan efisien. Dan akreditasi menjadi salah satu alat ukur penting untuk itu.
Mewujudkan standar tinggi tidak bisa serta-merta. Banyak SPPG yang perlu pendampingan dalam manajemen dapur skala besar, pelatihan hygiene pangan, hingga pelaporan digital. Di sinilah pentingnya peran pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, dan mitra swasta untuk mendampingi transisi ini.
Pemerintah juga mendorong pemanfaatan infrastruktur yang ada—seperti restoran yang tutup, balai desa, atau dapur milik koperasi—untuk dijadikan SPPG. Dengan pendekatan ini, biaya bisa ditekan dan manfaat ekonomi lokal juga bisa dirasakan.
Apa jadinya jika makanan bergizi yang disiapkan ternyata rusak dalam perjalanan? Atau jika petugas dapur lalai menjaga suhu makanan saat distribusi? Maka niat baik bisa berubah menjadi ancaman. Karena itu, setiap tahap dalam rantai pasok MBG harus dianggap krusial—baik oleh negara, pengelola SPPG, maupun masyarakat.
Satu saja anak mengalami keracunan, bisa menjadi preseden buruk bagi program nasional ini. Oleh karena itu, dari dapur ke sekolah, dari wajan ke piring anak, semua harus dijaga dengan sungguh-sungguh.
Program Makan Bergizi Gratis mungkin terdengar sederhana: memberi makan anak-anak setiap hari. Tapi di baliknya, ada sistem yang kompleks dan rentan. Karena itu, penguatan standar, akreditasi SPPG, dan pengawasan distribusi adalah bagian tak terpisahkan dari keberhasilan program ini.
Jika kita berhasil menjaga makanan tetap aman dan bergizi sepanjang rantai distribusinya, maka MBG bukan hanya menjadi program sosial, tetapi investasi strategis dalam membangun generasi Indonesia yang lebih sehat, lebih kuat, dan lebih cerdas.