Dapur SPPG butuh 4,5 juta butir kelapa per hari untuk program MBG. Jika ekspor tak dikendalikan, kita bisa kekurangan pasokan santan untuk anak-anak.
Fidela Almeira
Coba bayangkan 30.000 dapur serentak beroperasi, masing-masing melayani 3.000 anak setiap harinya. Itu berarti ada 90 juta piring makan bergizi yang harus disiapkan. Sekilas terlihat megah. Tapi tunggu dulu, bahan dasarnya cukup nggak? Ambil satu saja bahan yang kelihatan sepele tapi sangat menentukan rasa—kelapa. Bukan sekadar kelapa, tapi santan yang menjadi pondasi gurihnya sayur lodeh, opor ayam, gulai tempe, dan urap sayur khas Nusantara. Dari santan itulah cita rasa makanan bergizi Indonesia lahir. Tapi di balik aroma sedapnya, ada masalah besar: kita mungkin tidak cukup punya kelapa untuk semuanya.
Secara rata-rata, satu anak di MBG memerlukan seperempat butir kelapa per sajian berbasis santan. Tapi karena tidak setiap hari menu pakai santan, kita hitung konservatif saja: 20% dari total porsi. Maka satu anak akan butuh 0,05 butir kelapa per hari. Kalau dikalikan 90 juta anak, itu artinya 4,5 juta butir kelapa dibutuhkan hanya untuk MBG setiap harinya. Angka ini saja sudah bikin bulu kuduk petani kelapa berdiri.
Sekarang mari lihat ke kapasitas produksi nasional. Berdasarkan data dari BPS dan Ditjen Perkebunan, produksi kelapa bulat Indonesia berada di angka 3 miliar butir per tahun. Dibagi 365 hari, hasilnya kira-kira 8,2 juta butir per hari. Dari sini kita tahu bahwa MBG akan menyedot lebih dari separuh kapasitas harian nasional jika seluruh dapur SPPG beroperasi. Tapi tunggu, belum selesai.
Berapa Banyak Kelapa yang Dibutuhkan Program MBG?
Faktor berikutnya adalah ekspor. Per Maret 2025, Indonesia mengekspor sekitar 43 juta butir kelapa per bulan. Itu setara dengan 1,43 juta butir per hari. Tambahkan kebutuhan industri rumah tangga dan UMKM—misal urap, serundeng, minyak kelapa kampung, dan makanan tradisional lain—yang mengonsumsi setidaknya 2 juta butir per hari. Sisanya untuk siapa? Untuk MBG. Tapi sayangnya, sisa itu cuma sekitar 4,8 juta butir. Artinya, defisit. Kekurangannya mencapai ratusan ribu butir per hari, dan ini akan menekan harga kelapa secara nasional.

Tanpa bahan baku yang memadai, dapur SPPG tidak akan bisa beroperasi. Memang, koki massal mampu memasak ribuan porsi hanya dengan satu kuali. Namun, jika santan tidak tersedia, maka menu harus berubah. Sebagai akibatnya, anak-anak yang biasanya menikmati lodeh tahu atau sayur nangka mungkin hanya mendapat sayur bening atau tumisan sederhana. Memang benar, menu itu tetap sehat. Akan tetapi, rasa dan keterikatan budaya pada makanan bisa perlahan memudar.
Dan jangan lupakan fakta gizi. Kelapa menyumbang sekitar 90 kkal per porsi menu santan. Itu sekitar 5% dari total kebutuhan kalori anak per hari. Lebih penting lagi, lemak yang disumbangkan mencapai 16–20% dari kebutuhan harian. Dalam skema MBG, lemak sehat ini penting untuk menyeimbangkan karbohidrat dan protein. Jika hilang, maka keseimbangan gizi goyah.
Dampak Gizi Jika Santan Menghilang dari Menu Anak
Mungkin ada yang bilang: pakai santan instan saja! Tapi tunggu dulu. Santan instan tidak sebanding dari segi rasa, dan dari sisi gizi pun bisa mengandung pengawet atau bahan tambahan lain yang tidak cocok dikonsumsi anak-anak dalam jangka panjang. Lagi pula, ketergantungan pada produk olahan pabrik malah akan membuat dapur MBG tergantung pada pasar industri, bukan petani lokal.
Saat ini ekspor terbesar kelapa bulat Indonesia mengalir ke China, disusul Vietnam dan Thailand. Permintaan mereka tinggi karena kelapa Indonesia dinilai berkualitas dan murah. Tapi saat kita sibuk mengekspor bahan baku, dalam negeri justru kelabakan. Banyak pabrik olahan kelapa dalam negeri tutup karena kekurangan pasokan. Beberapa bahkan sampai melakukan PHK massal. Kalau pabrik saja megap-megap, bagaimana dengan dapur rakyat?
Kita butuh intervensi negara. Tidak bisa diserahkan ke pasar semata. Kalau tidak, skenario terburuk bukan lagi soal harga santan yang mahal, tapi dapur MBG yang tidak bisa menyajikan makanan sesuai standar gizi. Rantai pasok kelapa harus diatur ulang. Bisa lewat moratorium ekspor sementara. Bisa juga lewat sistem kuota atau pungutan ekspor, agar ada insentif distribusi untuk dalam negeri.
Lebih baik lagi, bila dibentuk koperasi petani kelapa yang khusus memasok ke dapur MBG. Bayangkan, satu kelompok tani di daerah penghasil kelapa seperti Indragiri Hilir, Minahasa, atau Halmahera bisa bermitra langsung dengan dapur SPPG. Petani tidak lagi bergantung pada tengkulak atau pasar acak. Harga lebih stabil, dan dapur lebih pasti bahan bakunya.
Ini bukan semata soal santan. Ini soal cara kita memperlakukan anak-anak bangsa. Kita selalu bilang makanan bergizi itu hak anak, tapi bagaimana mau bergizi kalau bahan dasarnya dibiarkan diekspor seenaknya? Kalau 4,5 juta butir kelapa per hari saja tidak kita lindungi, jangan harap program MBG bisa benar-benar merata dan berkelanjutan. Negara harus hadir—di dapur, di pasar, dan di kebun kelapa.