Edith Razan
Di satu sudut mal elite Jakarta, seorang ibu muda memamerkan ponsel terbarunya di InstaStory. Penuh kebanggaan. iPhone 15 Pro Max. Caption-nya santai: “Sesuai janji diri sendiri, tiap tahun harus upgrade”. Lalu disusul video anaknya yang tampak murung duduk di foodcourt, mengunyah roti gulung isi sosis murah dari convenience store. “Lagi ngambek, pengen nugget katanya,” tulisnya.
Di sisi lain kota, di posyandu kampung, seorang ibu petani mendengarkan dengan bingung saat bidan desa menjelaskan bahwa anaknya masuk kategori stunting. Berat badan dan tinggi badannya jauh dari standar. Padahal si ibu merasa sudah memberi makan anaknya setiap hari. Tapi semua lauknya hanya tempe goreng dan mi instan.
Dua potret ini bukan karikatur. Ini kenyataan. Dan ketika dua realitas ekstrem ini berjalan beriringan, Indonesia sedang menghadapi sebuah anomali besar: masyarakat yang semakin konsumtif, di tengah fondasi pembangunan manusia yang masih keropos. Negeri yang gemar pamer gadget mahal, tapi di saat bersamaan punya lebih dari 5 juta anak balita kekurangan gizi.
Flexing adalah Nafas Urban
Di banyak kota besar, terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, budaya flexing atau pamer kekayaan sudah seperti ritual harian. Entah lewat media sosial atau gaya hidup di kafe, pusat perbelanjaan, hingga tempat kerja. Makin mahal barang yang dikenakan, makin tinggi rasa percaya diri.
Dan bukan cuma kalangan atas. Fenomena ini juga menjalar ke kelas menengah tanggung—yang rela mencicil iPhone Rp20 jutaan lewat paylater sambil menyisakan uang belanja bulanan hanya untuk mi instan. Semua demi menjaga image. Demi bisa ‘nyambung’ dengan percakapan gaya hidup digital.
Produk teknologi, sepatu limited edition, tas branded KW super, nongkrong di kafe dengan harga kopi dua digit, jadi bagian dari kebutuhan sosial—bukan lagi kebutuhan fungsional. Sialnya, di sinilah letak masalahnya: konsumsi dipandu gengsi, bukan rasionalitas. Dan masyarakat pun terdorong membeli bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat.
Negeri Stunting? Masih. Dan Banyak.
Coba lihat data. Menurut SSGI 2022 (Kemenkes RI), stunting di Indonesia masih di angka 21,6%. Artinya, 1 dari 5 anak balita tumbuh dalam kondisi kurang gizi kronis yang mempengaruhi tinggi badan dan perkembangan otak. Angka ini memang turun dari tahun-tahun sebelumnya, tapi tetap tergolong tinggi secara global.
Yang lebih menyakitkan, kondisi ini tidak hanya terjadi di pelosok desa atau daerah 3T. Bahkan di wilayah urban seperti Jakarta, Bekasi, dan Depok pun, ditemukan anak-anak stunting akibat pola makan tidak sehat—tinggi kalori, rendah zat gizi. Banyak keluarga menggantikan lauk bergizi dengan junk food atau makanan cepat saji yang tidak memenuhi kebutuhan tumbuh kembang.
Jadi ketika ada rumah tangga yang belanja gadget Rp15 juta tapi memberi makan anaknya dengan mi rebus dan nasi putih tanpa sayur, bukan karena miskin, tapi karena salah prioritas—maka inilah ironi negeri ini.

IPM Kita Naik, Tapi Nanggung
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memang tergolong tinggi, yakni 73,26 pada 2023 menurut BPS. Tapi jangan buru-buru bangga. IPM kita masih di bawah Malaysia, Thailand, dan jauh di belakang Singapura. Sementara kesenjangan antar daerah sangat besar. Jakarta punya IPM di atas 81, tapi Papua hanya 60-an.
Kita adalah negara dengan IPM “nanggung”—maju setengah hati. Di satu sisi, kita punya bandara megah, tol canggih, anak-anak muda melek digital. Tapi di sisi lain, masih banyak yang buang air di sungai, anak-anak kurang gizi, dan sekolah yang tak layak.
Dan ini bukan soal kurang uang. Pemerintah punya anggaran. Subsidi jalan. Program gizi ada. Tapi budaya konsumsinya bermasalah. Belanja publik dan pribadi sering kali diarahkan bukan ke sektor produktif (pendidikan, gizi, literasi digital), tapi ke konsumsi gengsi.
Gengsi Membunuh Akal
Kita hidup di era ketika seseorang bisa lebih percaya diri memamerkan smartwatch Rp6 juta ketimbang bicara soal dana darurat. Lebih bangga menyicil motor gede ketimbang menabung untuk pendidikan anak.
Bahkan sering kita dengar kalimat seperti ini: “Yang penting gaya dulu, rezeki belakangan”. Atau, “Malu dong, temen-temen udah ganti hape semua”. Budaya seperti ini tumbuh subur karena masyarakat tak diberi cukup pendidikan finansial, sementara tekanan sosial begitu besar.
Tak heran bila hasil survei OJK menunjukkan bahwa literasi keuangan Indonesia masih di bawah 50%. Padahal akses ke pinjaman dan paylater makin mudah. Kombinasi antara gengsi, literasi rendah, dan kemudahan utang inilah yang jadi bom waktu ekonomi keluarga.
Salahkan Siapa? Teknologi? Bukan. Diri Sendiri.
Smartphone mahal, gadget baru, mobil canggih bukanlah musuh. Bahkan bisa jadi alat produktif kalau digunakan benar. Yang salah adalah kita yang membelinya hanya untuk terlihat keren, bukan karena dibutuhkan.
Contoh: beli iPhone 15 Pro Max cuma untuk main TikTok dan buka Instagram, padahal spek-nya jauh melebihi kebutuhan. Bandingkan dengan guru di desa yang harus patungan beli laptop butut untuk bisa mengajar daring. Di sinilah letak ironi sosial kita.
Negara Maju Tak Sebegitu Pamer
Banyak orang Indonesia menganggap warga negara maju hidup glamor. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Di Jepang, Korea, bahkan di Jerman atau Belanda, masyarakat lebih rasional. Mereka memprioritaskan tabungan, pendidikan anak, dan investasi jangka panjang.
Gaya hidup sederhana adalah nilai. Bukan kekurangan. Bahkan di banyak rumah tangga muda di luar negeri, mereka memakai barang secukupnya dan memaksimalkan fungsi, bukan simbol. Mereka tak akan gonta-ganti smartphone tiap tahun hanya karena tren kamera bertambah satu lensa.
Di negara maju, flexing dianggap norak. Di sini, dianggap achievement.
Gizi Bukan Masalah Uang, Tapi Mindset
Kembali soal anak. Banyak orang tua merasa mereka sudah cukup memberi makan anaknya hanya karena anak tidak lapar. Padahal, kecukupan gizi bukan soal kenyang, tapi soal kualitas.
Di lapangan, banyak balita makan nasi dengan garam, atau roti tawar dan susu kental manis yang tinggi gula, rendah nutrisi. Lalu para orang tua ini duduk main ponsel mahal sambil scroll TikTok. Ada yang salah. Dan bukan sistemnya saja, tapi prioritas kita.
Solusi: Literasi, Kesadaran, dan Keberanian Mengubah Gaya Hidup
Yang harus kita ubah bukan gaya hidup, tapi logika konsumsi. Kita harus berani mengubah paradigma bahwa barang mahal = sukses. Bahwa terlihat keren = validasi diri.
Kita perlu ajarkan:
- Beli barang karena fungsinya, bukan karena ingin dianggap.
- Makan sehat lebih penting dari konten estetik.
- Dana pendidikan anak lebih utama dari paylater gadget.
- Kesehatan mental dan fisik keluarga lebih penting dari komentar followers.
Dan ini bukan cuma tugas negara. Ini tugas kita sebagai orang tua, konsumen, pelaku sosial, pemilik akun media, pendidik, dan pelaku budaya.
Cukuplah budaya pamer kita berakhir di halaman media sosial. Mari kita mulai budaya baru: pamer anak sehat, anak tinggi, anak cerdas. Pamer bekal bergizi. Pamer tabungan pendidikan. Pamer ide-ide membangun.
Kalau memang harus flexing, flex-lah tentang hal-hal yang berdampak jangka panjang. Karena iPhone bisa usang dalam 2 tahun. Tapi masa depan anak bisa rusak seumur hidup kalau kita terus salah mengatur prioritas.
Ingat, negara yang kuat bukan yang penduduknya sibuk upgrade gadget tiap tahun, tapi yang anak-anaknya tumbuh tinggi, kuat, dan cerdas.