Sayur Tak Lagi Pahit: Menu MBG dan Perubahan Selera Anak Sekolah

Zoreen Muhammad

Sejak hari pertama diluncurkan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang tidak hanya bicara soal nasi dan lauk. Di setiap piring yang disajikan di dapur-dapur SPPG, selalu ada unsur sayur dan buah. Ini bukan pelengkap—melainkan bagian dari skema gizi nasional yang dirancang sejak awal: karbohidrat, protein, sayur, dan buah harus hadir berdampingan.

Anak-anak yang tadinya terbiasa hanya makan nasi dengan telur, mulai mengenal potongan wortel, tumisan bayam, atau irisan pepaya. Yang semula menolak daun kelor, kini menyantapnya dalam bentuk sup gurih yang ringan. Perubahan ini memang tidak terjadi dalam sehari. Tapi sejak MBG menyajikan menu komplit, selera anak-anak perlahan mengikuti.

Di banyak titik MBG, dari Bone sampai Bogor, variasi sayur dan buah sudah rutin hadir di piring. Di salahs atu SPPG di kota Sleman, capcay sederhana dengan tiga jenis sayuran menjadi menu tetap. Di Surabaya, oseng tempe dan kacang panjang jadi andalan. Di Tapanuli, salak lokal menjadi buah mingguan. Dan di Sorong, daun singkong dan jagung pipil masuk dalam menu harian. Ini bukan eksperimen dadakan. Semua dirancang sejak awal oleh dapur-dapur yang dibina agar menyajikan gizi seimbang sesuai kebutuhan anak.

Kuncinya ada pada penyajian. Sayur yang dimasak dengan teknik rumahan, tidak terlalu matang, dibumbui ringan, dan disajikan hangat ternyata lebih mudah diterima lidah anak-anak. Daun pepaya yang dulunya ditolak, jika ditumis sebentar dengan jagung muda dan bawang putih, bisa habis dalam satu suapan. Begitu pula potongan mangga yang dipilihkan yang matang dan manis, jadi rebutan.

Brokoli, jenis sayuran yang sering dihindari anak-anak (unsplash)

Sejumlah SPPG bahkan mulai melibatkan anak-anak dalam memilih menu mingguan. Mereka ditanya, sayur mana yang paling disukai? Buah apa yang ingin dimakan lagi minggu depan? Dari sinilah muncul masukan yang membuat menu semakin dekat dengan selera. Anak merasa dilibatkan, dan rasa penasaran mereka terhadap makanan baru meningkat. Yang dulunya menolak sayur, kini justru bertanya, “besok ada tumis kangkung lagi gak, Bu?”

Di beberapa sekolah, orang tua pun ikut terkejut. Anak-anak yang sebelumnya susah makan buah di rumah, kini justru meminta pisang seperti yang disajikan di sekolah. Ada efek balik yang tak direncanakan: dapur MBG di sekolah menjadi contoh kecil bagi rumah tangga. Di dapur Bone misalnya, karena sup daun kelor jadi favorit, sejumlah orang tua mulai menanam kelor di pekarangan. Ini gerakan kecil yang dimulai dari sendok pertama.

Program MBG tak pernah menjadikan sayur dan buah sebagai embel-embel. Justru sejak konsep awal, keduanya merupakan tulang punggung dari nilai gizi. Karena itu, meski belum semua titik bisa menyajikan buah setiap hari—karena faktor musim dan logistik—usahanya tetap ada. Di Kupang, semangka dipotong tipis agar cukup untuk semua. Di Sleman, pisang diberikan dua kali seminggu. Di Surabaya, mangga dipilih saat sedang panen raya. Setiap dapur berusaha menghadirkan semaksimal mungkin yang terbaik dari daerahnya.

Yang berubah bukan hanya isi piring, tapi cara pandang anak terhadap makanan. Mereka tak lagi takut pada sayur, atau malas makan buah. Mereka mulai menganggap itu sebagai bagian wajar dari makan siang. Bahkan beberapa guru melaporkan bahwa anak-anak yang rutin menghabiskan sayur dan buah cenderung lebih tenang, lebih fokus, dan jarang mengeluh sakit perut.

Maka ketika publik bertanya, apakah MBG benar-benar berdampak? Lihat saja ke piring anak-anak sekolah hari ini. Mereka makan tidak hanya untuk kenyang, tapi juga untuk tumbuh. Sayur dan buah adalah bagian dari cerita itu, bukan hiasan. Di piring mereka, generasi baru sedang dibentuk—dari setiap potongan wortel, daun kelor, dan seiris mangga.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *