Fidela Almeira
Temuan cadangan gas alam sebesar 10 TCF di lepas pantai Aceh bukan sekadar berita besar dari sektor energi. Ia menyimpan potensi menjawab satu tantangan nyata Indonesia hari ini: bagaimana menyuplai energi untuk dapur-dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjangkau puluhan juta anak sekolah, tanpa lagi bergantung pada impor LPG dan tanpa menyentuh subsidi.
Di balik program MBG, ada ribuan dapur yang beroperasi setiap hari. Satu unit SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) bisa memasak hingga 3.000 porsi makanan setiap harinya. Dan untuk itu, mereka butuh energi besar. Selama ini, energi itu datang dari LPG 12 kg non-subsidi. Meski tidak menerima subsidi langsung, konsumsi mereka tetap menyumbang tekanan terhadap pasokan dan harga LPG nasional yang sebagian besar masih diimpor.
Masuklah temuan gas 10 TCF di Blok South Andaman. Jika dikonversi, itu setara sekitar 283 miliar meter kubik (m³) gas alam. Dengan efisiensi pemanfaatan 85%, tersedia sekitar 240 miliar m³ gas siap pakai. Sekarang, mari kita bandingkan dengan kebutuhan nasional MBG.
Pemerintah menargetkan program MBG menjangkau 83 juta anak Indonesia pada 2029. Jika satu SPPG mampu melayani 1.000 anak, maka dibutuhkan sekitar 83.000 unit SPPG. Satu SPPG, untuk memasak 3.000 porsi per hari, memerlukan sekitar 146.730 m³ gas per tahun. Total kebutuhan gas seluruh SPPG adalah sekitar 12,18 miliar m³ per tahun.

Dengan demikian, cadangan gas 10 TCF cukup untuk menopang semua SPPG selama hampir 20 tahun penuh, tanpa perlu pasokan tambahan dari luar negeri, tanpa subsidi, dan tanpa mengubah pola operasional yang sudah ada. Tidak perlu membangun jaringan pipa gas kota, tidak perlu tunggu teknologi masa depan. Cukup maksimalkan infrastruktur LPG 12 kg yang sudah tersedia, dengan memastikan isinya berasal dari gas nasional, bukan impor.
Dari sisi fiskal, dampaknya luar biasa. Saat ini Indonesia mengimpor sekitar 6,89 juta ton LPG per tahun, dengan nilai mencapai Rp60 triliun. Uang ini keluar dari negeri setiap tahun, hanya untuk memastikan kompor tetap menyala. Padahal, jika konsumsi besar seperti di dapur-dapur MBG bisa dialihkan ke produksi dalam negeri, maka tekanan terhadap impor bisa berkurang signifikan.
Meskipun dapur SPPG tidak menerima subsidi LPG, setiap kilogram gas yang mereka gunakan tetap berarti: itu adalah potensi volume yang bisa ditahan agar tidak membengkakkan neraca impor. Artinya, program MBG bukan hanya tentang gizi dan anak sekolah, tapi juga bisa menjadi instrumen pengendalian energi nasional.
Lebih jauh, bila pemerintah menjadikan temuan gas ini sebagai fondasi kebijakan pangan dan energi, maka dana negara sebesar Rp60 triliun per tahun yang sebelumnya digunakan untuk menutup defisit impor LPG dapat dialihkan ke penguatan distribusi makanan, peningkatan kualitas dapur, hingga pengawasan mutu. Itu baru efisiensi yang terasa.
Apalagi, semua ini bisa dilakukan tanpa mengubah perilaku dapur. SPPG tetap bisa menggunakan tabung LPG 12 kg seperti biasa. Yang berbeda hanya asal usul gasnya: bukan lagi dari kapal tanker yang bersandar di pelabuhan, tapi dari kilang gas nasional yang memproses temuan raksasa di laut sendiri.
Bayangkan: 83.000 dapur MBG menyala setiap pagi, menyuplai makan anak-anak Indonesia dengan energi yang juga milik mereka sendiri. Tidak ada uang negara yang mengalir ke luar, tidak ada subsidi yang bocor, tidak ada kekhawatiran soal ketahanan pasokan.
Semua ini dimungkinkan oleh satu temuan penting: 10 TCF cadangan gas di bawah laut Aceh. Sumber daya ini bisa menjadi tulang punggung transisi energi sekaligus bahan bakar untuk revolusi pangan yang adil, murah, dan mandiri.
Jika kita sungguh ingin program MBG berlanjut dan berdaulat, maka sekarang saatnya menyambungkan urusan dapur dengan urusan energi nasional. Karena pada akhirnya, soal makan anak-anak bukan cuma soal piring nasi—tapi juga soal siapa yang menyalakan apinya.