Imajinasi Energi PLN di Ujung Negeri: Dari Panel Surya ke Piring SPPG

Edith Razan

Jauh di seberang kota, tempat tiang listrik jarang berdiri dan sinyal ponsel lebih sering nihil, ada dapur sederhana yang sibuk setiap pagi. Bukan warung, bukan kantin. Ini dapur milik negara. Tempat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memulai harinya dengan satu tujuan: memberi makan bergizi untuk anak-anak Indonesia.

Dan di atas atapnya, tak terlihat kipas angin atau parabola. Yang mencolok: deretan panel surya. Hitam mengkilat, menyerap cahaya pagi untuk mengubahnya jadi listrik. Bukan PLN cabang, bukan kabel SUTET. Tapi PLN versi baru—yang mulai berani membayangkan diri bukan cuma sebagai pengangkut listrik, tapi sebagai mitra gizi nasional.

Di banyak daerah 3T—tertinggal, terdepan, dan terluar—warga tak lagi berharap listrik akan menyala 24 jam. Mereka tahu sulitnya mendatangkan BBM ke pulau kecil. Mereka sudah kenyang janji infrastruktur yang tak pernah datang. Tapi saat ada wacana “MBG” (Makan Bergizi Gratis) dari pemerintahan baru, muncul pertanyaan sederhana: Kalau listriknya mati, gimana masak ribuan porsi makanan tiap pagi?

PLN menjawab, tapi tidak dengan gardu. Mereka menjawab dengan imajinasi. Bahwa mungkin, SPPG di pelosok bisa mandiri energi. Bahwa dapur sekolah bisa punya “PLTS atap”, punya baterai sendiri, dan tak perlu menunggu listrik PLN yang datang dari jauh.

Beberapa titik percobaan sudah jalan. Di Kalimantan Selatan misalnya, lebih dari 4 MVA daya disiapkan untuk 238 titik SPPG. PLN cek satu-satu instalasi. Mereka jamin, dapur bisa nyala, kompor bisa panas, dan cold storage bisa dingin—sepanjang hari. Ini bukan prestasi biasa. Ini adalah sinyal bahwa PLN perlahan bergerak dari status quo.

Tapi tantangan terbesarnya ada di luar jangkauan grid. Di 3T, ide cemerlang sering tumbang karena distribusi. Di sinilah panel surya jadi penentu. Pembangkitnya berdiri di lokasi. Tidak tergantung kabel. Dan PLN, kalau serius, bisa jadi operator microgrid dengan sistem pintar.

Mari bayangkan satu dapur SPPG di ujung Halmahera. Ia punya atap seluas 10 meter persegi. Di sana dipasang panel surya 10 kWp. Dengan baterai lithium 20 kWh, dapur ini bisa masak pagi, siang, bahkan simpan makanan sore hari. Tidak perlu genset, tidak perlu biaya BBM. Yang perlu: manajemen beban, inverter hybrid, dan teknisi lokal.

PLN bisa sediakan semua itu. Bahkan bisa latih warga sekitar untuk jadi operator mikro. Bayangkan: PLN punya divisi khusus “Energi Rakyat”, yang tugasnya hanya mendesain dan mengoperasikan dapur mandiri untuk anak-anak sekolah. Di daerah yang dulu tak masuk daftar pelanggan.

Ilustrasi solar panel sistem GRID PLN

Lalu kenapa belum masif? Karena PLN masih berpikir proyek. Belum berpikir ekosistem. Mereka bisa bikin panel surya, tapi belum bangun sistem leasing bagi dapur miskin. Mereka bisa sediakan teknisi, tapi belum bikin kurikulum pelatihan energi surya untuk pemuda lokal. Padahal semua itu bisa jadi satu program baru: SPPG-Energi Mandiri Nasional.

Dan ini bukan ide kosong. Lihat India, lihat Filipina, lihat Kenya. Semua punya model microgrid berbasis komunitas. Di sana perusahaan listrik tak lagi memaksakan grid besar masuk ke desa terpencil. Mereka bikin cluster, bikin aplikasi mobile, bikin sistem pre-paid. Semua efisien, semua berkelanjutan.

PLN bisa jauh lebih dari sekadar operator kabel. Ia bisa jadi arsitek food-energy nexus Indonesia. Ia bisa jadi mitra aktif dalam skema MBG. Bahkan, kalau dikelola serius, bisa menurunkan subsidi energi negara karena dapur sekolah tak lagi tarik daya jam-jam sibuk.

Imajinasi ini bukan soal listrik. Ini soal masa depan. Soal anak-anak yang butuh gizi, dan soal negara yang ingin hadir di mana saja, bahkan di pulau tak bernama.

PLN hari ini punya pilihan: tetap jadi perusahaan kabel, atau jadi mitra pembangunan yang sesungguhnya. Tidak semua mimpi perlu gardu. Kadang, cukup matahari, sepetak atap, dan satu ide yang percaya bahwa dapur kecil bisa menyelamatkan satu generasi.

Dan semuanya dimulai… dari satu panel surya di atas dapur sekolah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *