Dapur Pertahanan Rakyat: MBG dan SPPG dalam Ketahanan Nasional

Edith Razan

Ketika bicara soal pertahanan nasional, yang langsung terbayang biasanya tentara, senjata, barikade, dan kendaraan tempur. Wajar, karena itulah citra pertahanan yang melekat dalam sejarah panjang kita. Tapi zaman sudah berubah. Ancaman terhadap negara tidak selalu datang lewat invasi bersenjata. Kini kita berhadapan dengan bencana alam, krisis pangan, pandemi, konflik sosial, bahkan serangan digital. Dalam kondisi seperti ini, pertahanan tak cukup hanya diserahkan pada militer. Harus ada garda terdepan baru—lebih dekat ke kehidupan sehari-hari. Salah satunya: makanan bergizi.

Selama ini, dapur sering dianggap sebagai ruang domestik yang tak punya peran strategis. Tapi dalam situasi krisis, justru dari dapurlah negara bisa mulai bertahan. Negara yang ingin kuat harus memastikan rakyatnya tidak kelaparan. Kelaparan bisa memicu kekacauan, menggoyahkan moral, dan membuat masyarakat lebih mudah diprovokasi. Karena itu, kita perlu mulai memandang dapur sebagai bagian penting dari sistem pertahanan nasional. Dalam hal ini, dapur dimaknai secara lebih luas melalui hadirnya Sarana Pengolahan Pangan Gizi atau SPPG.

SPPG adalah semacam dapur besar milik negara yang bisa memproduksi makanan bergizi dalam skala besar. Di masa normal, fasilitas ini menjadi bagian dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyasar anak-anak sekolah dan kelompok rentan. Tapi saat bencana datang, SPPG akan berfungsi sebagai dapur darurat. Ia bisa bergerak cepat, memproduksi ribuan porsi makanan sehat, dan mendistribusikannya ke wilayah yang terdampak. Dalam kondisi krisis, makanan bukan cuma soal perut kenyang—tapi juga soal harapan.

MBG bukan sekadar program pembagian makanan. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat fondasi bangsa. Anak-anak yang terbiasa mendapat asupan bergizi akan tumbuh jadi generasi sehat dan cerdas. Jangka panjangnya, ini berarti sumber daya manusia yang lebih kuat. Ketika MBG didukung oleh jaringan SPPG yang tersebar di banyak wilayah, negara secara otomatis memiliki sistem logistik darurat yang siap diaktifkan kapan saja. Jadi, MBG dan SPPG bukan hanya tentang gizi, tapi juga tentang kesiapsiagaan.

Kelebihan lain dari model SPPG adalah sifatnya yang bisa disesuaikan dan melibatkan banyak pihak. Tidak harus selalu dibangun pemerintah pusat. Pemerintah daerah, pesantren, koperasi, hingga organisasi masyarakat bisa ikut menjalankan. Sistem ini membuat jaringan logistik gizi menjadi menyebar dan tidak mudah lumpuh. Kalau satu dapur berhenti, dapur lain tetap bisa berjalan. Konsep ini sangat cocok untuk Indonesia yang luas dan rawan bencana.

Dalam kerangka pertahanan semesta, SPPG dan MBG menawarkan perspektif baru. Pertahanan tidak selalu tentang senjata. Tapi juga tentang apakah makanan tersedia, apakah logistik berjalan, dan apakah masyarakat cukup sehat untuk bertahan. Tentara tetap butuh makan. Warga sipil bisa ikut membantu negara, tapi hanya kalau mereka sehat. Dan semua itu bisa dijaga dari dapur.

Sebuah tungku (hau tungku) di Purworejo, Jawa Tengah

Gotong royong adalah nilai lama bangsa ini yang selalu muncul saat krisis. Sekarang, lewat SPPG dan MBG, semangat itu dibawa masuk ke skema pertahanan modern. Bayangkan dapur-dapur di pesantren, masjid, atau rumah warga yang memproduksi makanan untuk korban bencana. Mereka tidak membawa senjata, tapi mereka ikut menjaga stabilitas negara dari balik wajan dan panci. Mereka adalah prajurit jalur logistik.

Ke depan, SPPG bisa dimasukkan dalam latihan tanggap darurat bersama TNI, Polri, dan pemerintah daerah. Ini bukti bahwa pertahanan juga bisa dijalankan oleh mereka yang berseragam sipil. Dalam kondisi ekstrem—badai, banjir, pemadaman listrik, atau konflik sosial—mereka yang mengelola dapur ini bisa jadi penyelamat. Pertahanan yang berangkat dari empati, bukan hanya strategi.

Negara yang kuat bukan cuma yang punya banyak senjata, tapi juga yang bisa memberi makan rakyatnya dalam kondisi apa pun. Dan bukan sekadar memberi makan, tapi memberi makan yang bergizi, adil, dan berasal dari hasil tani dan laut sendiri. Di sinilah MBG dan SPPG berperan besar. Dapur kini bukan hanya ruang belakang rumah, tapi bagian penting dari sistem pertahanan nasional.

Saat bicara pertahanan, kita juga harus bertanya: apakah dapur-dapur kita siap saat krisis datang? Apakah makanan sehat tetap tersedia ketika pasar tutup, listrik padam, dan sekolah libur? Apakah anak-anak masih bisa makan telur, tempe, dan sayur saat situasi tidak menentu? MBG dan SPPG bukan hanya wacana untuk menjawab itu semua. Mereka adalah sistem nyata yang sedang dibangun.

Sudah waktunya kita mengubah cara pandang. Kekuatan sebuah negara tidak hanya terletak pada barisan pasukan di depan, tapi juga ribuan dapur yang tetap menyala di belakang. Dari sanalah harapan rakyat hidup, semangat bangsa bangkit, dan pertahanan sejati dibentuk.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *