Zoreen Muhammad
Pasar tradisional dengan deretan sambal dan sayuran segar ini menggambarkan betapa pangan pokok sehari-hari begitu dekat dengan kehidupan rakyat. Dari situasi pasar seperti ini, pemerintah dari masa ke masa selalu berupaya menjaga agar harga sembako seperti beras, minyak goreng, gula, dan daging tetap terjangkau. Setiap rezim punya resepnya sendiri: sejak Orde Baru Soeharto hingga era Reformasi dan masa kini, strategi pengendalian harga pangan terus berevolusi. Pada intinya, tujuan semua pemerintahan adalah menghindarkan lonjakan inflasi pangan yang membebani masyarakat miskin, tetapi caranya berbeda-beda seiring perubahan zaman.
Pada era Orde Baru di bawah Soeharto, pengendalian harga pangan dipusatkan melalui Bulog (Badan Urusan Logistik). Pemerintah menetapkan “sabuk harga” – yaitu rentang harga minimum dan maksimum untuk komoditas strategis – dan Bulog siap turun tangan mengintervensi. Jika panen berlebih, Bulog membeli gabah atau beras dari petani sebagai cadangan, dan jika panen sedang rendah (pasca panen raya maupun menjelang hari besar), Bulog melepas stok ke pasar untuk menekan harga. Kebijakan ini berhasil menstabilkan harga beras dan mendukung swasembada pangan. Pada pertengahan 1980-an, Indonesia bahkan mencapai swasembada beras dan mendapat penghargaan FAO. Inilah saat Bulog benar-benar menjadi andalan, menjalankan operasi pasar secara besar-besaran. Selain beras, Bulog juga memasok gula, minyak, dan kebutuhan pokok lain sesuai instruksi presiden. Sementara itu subsidi pupuk dan upaya peningkatan produksi pertanian memastikan pasokan terjaga, sehingga harga pangan relatif murah bagi masyarakat. Pendekatan ini sangat sentralistik dan terpusat; pemerintah pusat mengatur pasokan dan harga dari hulu ke hilir.
Tantangan muncul ketika Orde Baru berakhir. Di era Reformasi dan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014), pemerintah tidak lagi mengandalkan stabilisasi harga secara ketat ala Orde Baru. Bulog tetap ada, tetapi lebih berperan sebagai penyedia beras untuk program bantuan (Raskin/Rastra) daripada penetap harga utama. Pemerintah mengubah pendekatannya dengan mengandalkan subsidi tepat sasaran dan regulasi harga. Misalnya, diperkenalkan harga eceran tertinggi (HET) untuk berbagai komoditas pokok seperti beras medium, gula pasir, dan minyak goreng. Lewat HET inilah negara menetapkan batas atas harga jual di tingkat konsumen. Selain itu, pemerintah SBY menjalankan program raskin (kemudian Rastra) untuk menyalurkan beras murah kepada rumah tangga miskin, serta memberikan bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan sosial pangan bagi yang berhak. Operasi pasar (penjualan barang bersubsidi) juga sering digelar, terutama saat menjelang Ramadan atau Lebaran.
Namun, pendekatan era SBY bersifat lebih multisaluran dan tidak sepenuhnya terpusat. Otonomi daerah yang meningkat membuat sebagian pengendalian dan distribusi pangan menjadi ranah pemerintah provinsi atau kabupaten. Ini menyebabkan koordinasi terkadang sulit; penerapan HET terkadang longgar di lapangan dan banyak terjadi selisih harga antardaerah. Mafia perdagangan sering memanfaatkan perbedaan harga HET di sentra produksi dan pasar besar. Akibatnya, meski inflasi pangan relatif lebih terjaga dibandingkan beberapa tetangga, terkadang rakyat masih merasakan gejolak harga, terutama saat terjadi cuaca ekstrem atau defisit panen. Misalnya, lonjakan harga daging atau cabai di beberapa tahun adalah fenomena yang sulit diintervensi oleh mekanisme HET saja. Secara keseluruhan, era SBY dibangun atas kombinasi mekanisme pasar dengan bantuan terarah – berbeda dengan kontrol negara penuh Soeharto – yang mana kelemahannya tampak saat fluktuasi kuat melanda pasar.
Memasuki era Presiden Joko Widodo (2014–2024), strategi pengendalian pangan mulai memanfaatkan teknologi dan pasar lebih aktif. Jokowi memperkenalkan berbagai program baru: misalnya Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) kepada jutaan keluarga miskin yang dibiayai negara, yang bisa ditukarkan di e-warung (warung elektronik) modern. Pemerintah juga membentuk aplikasi dan sistem informasi harga pangan (seperti panel harga pangan nasional) yang dipantau di kantor pusat dan secara berkala diumumkan. Selain itu, pengembangan infrastruktur logistik – seperti Tol Laut dan modernisasi gudang Bulog – ditingkatkan agar distribusi beras dan kebutuhan pokok di seluruh nusantara lebih lancar. Jokowi tidak menutup mata bahwa pasar penting, sehingga melibatkan pihak swasta dan koperasi untuk menjaga pasokan. Di sisi lain, operasi pasar tetap digunakan bila diperlukan, misalnya menjual beras bersubsidi di pasar murah menjelang Lebaran. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran besar untuk cadangan pangan strategis dan bimbingan teknis bagi petani. Secara garis besar, era Jokowi menggabungkan pendekatan pasar bebas dan intervensi terukur, dengan kekuatan teknologi untuk monitoring (meski infrastruktur data ini masih dalam tahap pembenahan).
Namun, era Jokowi juga menunjukkan tantangan baru. Dalam beberapa tahun terakhir, gangguan pasokan global dan krisis kesehatan membuat harga pangan bergejolak. Misalnya saat pandemi Covid-19 dan krisis Ukraina, harga minyak goreng dan komoditas dunia melonjak, memicu inflasi domestik. Pemerintah Jokowi merespons dengan cepat: melarang sementara ekspor minyak sawit (agar pasokan dalam negeri tercukupi), menggelontorkan bantuan sosial ekstra berupa beras dan sembako bagi yang terdampak, serta menstabilkan harga melalui operasi pasar besar-besaran. Meski demikian, banyak kritik muncul bahwa respon ini lebih bersifat reaktif daripada preventif. Dalam praktiknya, petugas sering turun langsung cek harga di pasar tradisional, tapi sistem digital yang dapat membaca potensi kenaikan harga secara dini masih berkembang. Oleh sebab itu, kendati infrastruktur logistik semakin maju, pendekatan pengendalian harga pangan di masa Jokowi masih perlu perbaikan agar tidak hanya terpaku pada pada rezim intervensi mendadak.
Di era Prabowo Subianto yang saat ini menjabat (periode 2024-), paradigma pengendalian harga pangan kembali bergeser. Prabowo memasukkan isu pangan sebagai bagian inti visi kedaulatan pangan dan gizi. Salah satu wujud konkret adalah program ‘Makan Bergizi Gratis’ (MBG), yang digagas untuk menyediakan makanan sehat bagi jutaan penerima manfaat. Pada program MBG ini, dibentuk unit-unit baru bernama Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di seluruh wilayah, termasuk di bawah pengelolaan Polri dan TNI. Targetnya ambisius: menjangkau puluhan juta penerima, terutama anak sekolah dan kelompok rentan. Menteri maupun kepala badan terkait menyebut pemerintah mengalokasikan anggaran besar – mencapai Rp7–10 miliar per SPPG – agar setiap dapur komunal ini dapat menyiapkan ribuan porsi makanan bergizi setiap hari. Badan Gizi Nasional sebagai pengampu program menjelaskan bahwa pemilihan lokasi SPPG didasarkan pada data geospasial sekolah, dengan target awal sekitar 30.000 titik pelayanan di seluruh Indonesia. Artinya, pemerintah menyiapkan jaringan logistik pangan baru yang masif, terfokus untuk program sosial tetapi juga memiliki potensi pengaruh luas terhadap kestabilan pasokan lokal.

Pola kerja SPPG inilah yang bisa dipandang sebagai lompatan kontrol harga cerdas. Hampir 85% dana SPPG digunakan untuk membeli bahan baku makanan (beras, sayur, lauk, dan lain-lain) di pasar lokal. Dengan mengolah menu harian satu bulan penuh, SPPG ini secara rutin bertransaksi di pasar grosir dan petani lokal. Di sinilah peluangnya: setiap SPPG yang membeli kebutuhan pokok seolah menjadi agen pengumpulan data harga waktu nyata. Program SPPG memang sudah menggunakan pemantauan digital – pilot MBG di Sulawesi Tengah, misalnya, menerapkan sistem monitoring digital yang mempercepat evaluasi program secara real-time. Setiap dapur komunitas MBG melaporkan jumlah porsi yang disajikan, kualitas nutrisi, dan cakupan penerima secara elektronik. Dengan demikian, jika sistem ini juga mengintegrasikan catatan harga dan pasokan, pemerintah pusat mendapatkan informasi langsung tentang dinamika pasar di setiap sudut negeri.
Bayangkan bila skema ini digabungkan dengan tujuan stabilisasi harga: Ketika SPPG di suatu daerah melaporkan bahwa harga cabai atau bawang tiba-tiba meningkat dua kali lipat, sistem terpusat dapat segera mengetahuinya dan berkoordinasi dengan Bulog atau pemasok untuk intervensi. Misalnya Bulog bisa segera menyalurkan cadangan komoditas yang bersangkutan, atau pemerintah menggelar operasi pasar khusus di kawasan tersebut. Sebaliknya, jika panen melimpah dan harga cabai jatuh drastis, SPPG bisa justru membeli lebih banyak untuk cadangan konsumsi, sekaligus menyalurkan ke daerah lain yang kekurangan. Keterlibatan masyarakat lokal dalam program MBG (10,5% anggaran SPPG diperuntukkan bagi tenaga kerja dapur dan petugas lokal) juga membantu memantau harga dan pasokan di tingkat desa. Dengan jaringan SPPG yang tersebar ini, setiap sudut Indonesia bisa jadi seperti ‘sensor ekonomi’ – membuat kontrol harga bisa lebih cepat dan terarah.
Pendekatan baru ini tentu sangat berbeda dengan era-era sebelumnya. Di masa Soeharto, pemerintah mengandalkan satu entitas besar (Bulog) dan instrumen tunggal (harga sapu jagad dan operasi pasar) yang bersifat top-down. Era SBY-Jokowi menggunakan kombinasi subsidi dan intervensi titik (HET, raskin, pasokan bantuan sosial) tapi seringkali reaktif. SPPG MBG era Prabowo justru menciptakan jaringan distribusi harian yang sistematis, berbasis data, dan berpola “menjaga pasar dari bawah”. Karena beroperasi setiap hari dan terhubung dengan teknologi informasi, SPPG bisa memberikan gambaran kondisi pasokan dan harga komoditas secara real time untuk setiap wilayah. Ini memungkinkan pemerintah mengambil langkah adaptif: menambah pasokan di daerah yang kekurangan, atau mengendorkan subsidi saat stok melimpah sehingga harga tidak anjlok bagi petani. Sebagai contoh konkret, Bulog kini fokus membeli langsung gabah petani di lapangan (bukan lagi dari tengkulak) agar petani mendapat harga wajar; data pembelian gabah melalui SPPG yang tersebar bisa memperkuat langkah ini dengan memberi info pasar terkini.
Dengan kata lain, SPPG MBG berpotensi menjadi “otak digital” dalam sistem pangan nasional. Data pembelian bahan baku yang dikumpulkan setiap hari bisa dianalisis untuk memprediksi tren harga dan kekurangan pasokan. Pola pengeluaran SPPG – misalnya 3.000 anak sekolah setiap unit diharapkan mendapat makanan – bisa dihubungkan dengan data demografi dan produksi setempat. Jika pola makan di satu daerah berubah, atau stok suatu bahan menipis, pemerintah bisa bereaksi cepat. Inilah sistem pengendalian harga yang responsif dan adaptif: tidak menunggu krisis besar, tetapi mengatur distribusi secara cerdas berlandaskan informasi terkini.
Secara keseluruhan, perbandingan lintas era menunjukkan beragam upaya pemerintah: Orde Baru dengan pendekatan otoriter dan terpusat, era SBY-Jokowi dengan metode campuran subsidi dan pasar, dan kini Prabowo dengan sistem distribusi sosial berbasis data. SPPG dalam Program MBG melengkapi pendekatan masa lalu dengan elemen baru: teknologi, keterlibatan komunitas, dan perencanaan real-time. Bila dijalankan dengan baik, sistem ini bisa menjaga harga sembako tetap stabil secara berkesinambungan, sembari mengangkat taraf hidup dan gizi masyarakat. Transformasi dari operasi pasar skala besar ke jaringan SPPG digital ini adalah bukti langkah cerdas yang diharapkan memadukan kekuatan pasar dan intervensi negara dengan cara lebih dinamis. Sembari program MBG terus dibangun, harapannya Indonesia mendapat sistem kontrol pangan yang lebih akurat: cepat menyesuaikan diri pada fluktuasi harga, melindungi konsumen dan petani, serta memastikan pangan pokok terjangkau di seluruh nusantara.