Edith Razan
Belakangan ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah Indonesia menuai sorotan dari beberapa media asing. Mereka mempertanyakan efektivitas dan keberlanjutan pembiayaan program ini, bahkan menyoroti kemungkinan peningkatan utang negara sebagai konsekuensinya. Namun, kritik tersebut sepatutnya disikapi secara proporsional dan tidak langsung dijadikan ukuran mutlak kegagalan ataupun keberhasilan kebijakan nasional.
Indonesia memiliki kebutuhan dan realitas sosial yang berbeda dibanding negara-negara pengkritik, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Human Development Index (HDI) Indonesia saat ini berada di level menengah (peringkat ke-114 dari 193 negara pada 2023), sedangkan negara-negara pengkritik sebagian besar sudah mencapai kategori sangat tinggi. Justru karena posisi Indonesia masih tertinggal, dibutuhkan terobosan program seperti MBG untuk mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Negara-negara dengan HDI tinggi telah melalui fase panjang investasi sosial, termasuk di bidang pendidikan dan gizi. Kritik terhadap MBG tanpa mempertimbangkan konteks kebutuhan Indonesia cenderung tidak relevan. MBG bukan sekadar program makan di sekolah, melainkan langkah strategis untuk memperbaiki kualitas generasi muda yang akan memegang peran utama dalam pembangunan masa depan bangsa.
Filosofinya sederhana: hanya kita yang benar-benar memahami kebutuhan dan tantangan bangsa sendiri. Indonesia memiliki keragaman geografis, tingkat kemiskinan, dan disparitas pembangunan yang sangat berbeda dibanding negara maju. Solusi yang efektif tidak bisa disalin dari luar, tapi harus lahir dari pemahaman mendalam terhadap kondisi riil dalam negeri.
Di sisi lain, kritik asing seringkali datang dari negara-negara yang sangat tergantung pada Global Value Chain (GVC) dan perdagangan internasional. Ekonomi Indonesia cenderung lebih resilient terhadap guncangan global karena keterlibatan kita dalam rantai nilai global masih terbatas. Justru ini memberikan ruang fiskal lebih fleksibel bagi negara untuk membiayai program sosial jangka panjang seperti MBG.
Pembiayaan MBG juga bukan berarti membebani utang secara sembrono. Pemerintah merancang pendanaan program ini secara bertahap, melalui re-alokasi anggaran dan penguatan penerimaan pajak dalam negeri. Dengan model distribusi lokal, program ini justru menggerakkan ekonomi desa dan meningkatkan daya beli masyarakat secara bottom-up.
Komparasi dengan negara lain juga menunjukkan bahwa banyak negara maju justru mengeluarkan anggaran lebih besar untuk subsidi pangan dan gizi anak-anak. Di Amerika Serikat, misalnya, program “National School Lunch Program” menghabiskan miliaran dolar setiap tahun. Mengapa Indonesia tidak boleh melakukan hal serupa, padahal tingkat kebutuhan gizi kita jauh lebih kritis?
Selain dampak kesehatan dan pendidikan, MBG adalah simbol keberpihakan negara terhadap kelompok rentan. Filosofi “tidak boleh ada anak yang belajar dalam keadaan lapar” adalah prinsip universal yang seharusnya dihormati oleh siapa pun, termasuk oleh pihak luar negeri yang menilai kebijakan ini dari kacamata fiskal semata.
MBG juga membuka ruang kolaborasi lokal—dengan petani, koperasi, dan komunitas pendidikan. Program ini bukan sekadar pengeluaran, tetapi investasi jangka panjang yang akan mengurangi biaya kesehatan dan meningkatkan produktivitas ekonomi nasional dalam beberapa dekade mendatang.
Dengan memahami karakter ekonomi nasional, konteks sosial, dan tantangan HDI kita yang masih rendah, Indonesia punya alasan kuat untuk melaksanakan program MBG. Kritik dari luar negeri patut dihormati, namun arah kebijakan gizi bangsa harus tetap berpijak pada realitas kita sendiri—karena hanya kitalah yang paling tahu bagaimana membangun Indonesia yang sehat, kuat, dan berdaulat.